Site icon Tanah Airku

Bayang-bayang AIDS di Papua Saat Pandemi Corona

KOMPAS.com – HIV/ AIDS sudah sejak lama menjadi masalah kesehatan utama di Papua, dan bahkan menjadi ancaman paling mematikan. Sayangnya sepanjang 2020 isu itu tertimbun oleh hadirnya Covid-19.

Selama ini Papua selalu masuk dalam lima besar provinsi dengan jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi di Indonesia. Tahun lalu, kasus HIV Papua ada di posisi keempat nasional dengan 37.662 kasus. Sedangkan untuk AIDS, Papua duduk di urutan teratas dengan 23.629 kasus. Menurut Vanda Kirihio, Direktur Yayasan Harapan Ibu, Papua, pandemi mengubah banyak hal dalam penanganan HIV/AIDS di Papua.

“Kami yang menangani HIV/AIDS, merasa dilupakan. Perhatian pemerintah semua ditujukan kepada Covid. Kita tahu perhatian pemerintah kesana lebih banyak, kemudian diikuti pendanaan yang banyak dengan fasilitas disediakan,” papar Vanda dikutip dari VOA Indonesia.

Padahal, lanjut Vanda, Papua tidak hanya memiliki masalah dengan Covid-19. Dia menyebut ATM, yaitu AIDS, TB dan Malaria sebagai problem besar menahun yang belum bisa diselesaikan. Terlalu fokus pada Covid-19, berisiko membawa Papua ke situasi sulit dalam penanganan tiga penyakit mematikan di Papua itu.

Setidaknya hal tersebut bida dibaca pada data Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kementerian Kesehatan Agustus 2020 lalu. Saat ini lima provinsi dengan kasus AIDS terbanyak adalah Papua 23.629, Jawa Timur 21.016, Jawa Tengah 12.565, DKI Jakarta 10.672 dan Bali 8.548.

Sedangkan untuk lima provinsi dengan kasus HIV terbanyak ditempati DKI Jakarta 68.119, Jawa Timur 60.417, Jawa Barat 43.174, Papua 37.662, dan Jawa Tengah 36.262.

Seorang perempuan yang terinfeksi HIV menyiapkan obat-obatannya di rumah penampungan di Jayapura, Provinsi Papua

Vanda mengatakan sebelum pandemi, penanganan kasus HIV/AIDS di Papua cukup baik. Salah satu faktornya adalah banyaknya lembaga nonpemerintah nasional maupun internasional, bekerja di Papua.

Di Papua sendiri, hubungan seks adalah penyebab paling tinggi penularan HIV dibandingkan  penggunaan jarum suntik dan transfusi darah. Penularan di lingkup keluarga juga cukup dominan, meski tidak bisa diabaikan juga faktor hubungan seks di luar pernikahan. Aktivis HIV/AIDS ini mengatakan di Kota Jayapura memiliki sekitar 40 tempat hiburan dengan lebih dari 500 pekerja seks.

“Kita sosialisasi penyampaian informasi, kemudian melakukan skrining Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS. Untuk Kota Jayapura, sudah punya klinik khusus dan teman-teman pramuria ini sudah terjadwal dengan baik untuk melakukan pemeriksaan di Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR) secara rutin,” tambah Vanda. Ia juga mendesak agar Pemda Papua kembali berkonsentrasi menangani HIV/AIDS karena program yang sudah berjalan selama ini, tetap butuh dukungan. Menurutnya ada risiko terlalu besar jika mengabaikan. Semua itu merupakan gangguan, di tengah Pemda yang terlalu konsentrasi ke Covid-19.

Selain di Papua, penanganan Covid-19 di Papua Barat juga menenggelamkan isu HIV/AIDS. Siti Maryam Rumkakir, Koordinator Ikatan Perempuan Positif Indonesia, Papua Barat mengatakan banyak program tahunan tidak terlaksana karena konsentrasi pemerintah daerah lebih banyak ke pandemi. Tidak hanya itu, menurut Siti Maryam, pandemi juga menjadi persoalan bagi ODHA khususnya untuk perempuan yang akan melahirkan.

“Kalau untuk isu HIV atau program HIV untuk ibu dan anak yang saya pegang, untuk Papua Barat khususnya di kota Sorong, memang selama pandemi itu sangat bermasalah sekali untuk teman- teman perenpuan dengan HIV yang akan melakuan persalinan,” kata Siti Maryam.

Dia menjelaskan, prosedur yang sudah ditetapkan, seorang ODHA yang hamil, dengan status HIV di bawah enam bulan, dia harus melakukan persalinan dengan operasi sesar. Namun masalah muncul ketika rumah sakit rujukan di kota Sorong yang memiliki kepedulian terhadap pasien HIV, terdampak Covid-19 dan pernah menutup layanan.

Siti Maryam mengakui ada beberapa rumah sakit swasta yang bisa melakukan pelayanan operasi sesar bagi ibu hamil dengan HIV/AIDS. Namun pembayarannya melalui jalur umum. Sementara ODHA yang menjadi dampingan IPPI Papua Barat selama ini, mayoritas datang dari kelompok masyarkat miskin.

Mereka tidak akan mampu membayar biaya operasi yang mencapai belasan juta rupiah. “Mereka memikirkan berkali-kali, harus mengikuti persyaratan untuk tidak menularkan ke anak tetapi dengan biaya yang mahal, atau ya sudah diam-diam melahirkan di dukun atau di rumah, tetapi resikonya besar buat anak,” jelas Siti Maryam.

Ia juga mengatakan adanya larangan berkerumum juga menghambat pelaksanaan program-program yang sudah direncanakan. Selain itu, kegiatan yang biasanya dilaksanakan dinas juga berkurang drastis. Sepanjang tahun 2020, Siti Maryam mengatakan hanya satu atau dua kegiatan saja yang terlaksana.

Dinas terkait biasanya beralasan jika mereka sedang fokus dalam penanganan Covid-19. Satu hal yang cukup melegakan adalag selama pandemi rumah sakit melakukan penyesuaian layanan, khususnya dalam pengambilan obat ARV bagi ODHA. Meski durasi layanan dikurangi, dari maksimal pukul 16.00 menjadi pukul 12.00, tetapi ODHA bisa memesan pengambilan obat melalui telepon. Menurut data dinas kesehatan setempat, ada 20.496 kasus kumulatif HIV/AIDS di Papua Barat.

Exit mobile version