Jayapura – Salah satu moda transportasi yang sangat vital di pegunungan Papua adalah pesawat kecil. Penerbangan perintis di pegunungan Papua masih menjadi tumpuan bagi masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan atau terisolasi jalur darat.
Penerbangan perintis di pegunungan Papua pertama kali dibuka oleh misionaris pada masa pemerintahan Belanda, tahun 1950 hingga 1960-an.
Lapangan terbang hasil kerja misionaris kondisinya hanya sekedar ada, pada waktu itu hanya dikerjakan oleh tenaga manusia dengan sekop. Landasan pacu berupa lapangan rumput atau tanah yang diperkeras.
Posisi lapangan terbang terletak di atas bukit, dan diapit diantara bukit lainnya. Sedangkan di ujung landasan, jurang berdasar sungai bebatuan.
Transportasi udara dinilai paling efisien dan cepat, pesawat-pesawat kecil dan ringan jenis Cessna caravan dan twin otter berperan penting untuk mengangkut barang, dokumen, bahan pangan, serta penumpang ke tempat terpencil. Sebaliknya, setiap pesawat dari pedalaman mengangkut hasil pertanian lokal seperti kopi.
Bagi traveler yang ingin naik pesawat ini, semua wajib ditimbang, baik berat badan penumpang maupun barang bawaannya. Jika, jumlah total berat penumpang dan barang melebihi kapasitas, barang bawaan yang akan dikurangi.
Keunggulan pesawat kecil jenis Cessna caravan dan twin otter dapat beroperasi dengan ground equipment yang minim, dan multihop capability fuel tank. Pesawat ini bisa lepas landas dalam jarak pendek, serta mendarat di landasan yang tidak beraspal. Spesifikasi ban pesawat ini mampu mendarat di landasan berumput atau berkerikil serta jarak landasannya sejauh 600 meter.
Namun, cuaca dan arah angin yang cepat berubah sangat membahayakan keselamatan penerbangan. Kondisi geografis Lembah Baliem misalnya, dikelilingi oleh pegunungan sehingga setiap pesawat sering mengalami kesulitan dalam proses pendaratan atau tinggal landas.
Semua pesawat yang menuju Lembah Baliem harus menemukan pintu masuk lembah, pintu ini merupakan satu-satunya jalan utama.
Untuk pesawat-pesawat yang tidak memiliki kemampuan terbang tinggi maka caranya yaitu dengan terbang diantara celah-celah di lereng pegunungan Jayawijaya. Pilot harus piawai mengendalikan pesawat dan meliuk-liuk diantara celah-celah pegunungan.
Celah-celah ini disebut sebagai gap yang diikuti dengan nama setempat. Beberapa diantaranya adalah Gap Bokondini, Wamena North Gap (Pass Valley) dan lain-lain.
Salah satu yang populer adalah Gap Bokondini karena posisinya yang sangat menguntungkan dengan kawasan yang cukup luas untuk bermanuver dan secara statistik, cuaca di Bokondini juga mewakili kondisi cuaca di atas Wamena.
Sekalipun pilot bisa menemukan sebuah celah lubang di bawah lapisan awan-awan yang tebal dan bisa terus terbang di bawahnya, dan mendarat dengan selamat, tetaplah itu seringkali berbahaya. Tak jarang, pilot mesti bergelut dengan cuaca yang tidak menentu.
Apabila awan-awan menggantung rendah, maka jarak pandang kurang tetap agak sulit untuk membedakan satu lembah dari lembah lainnya. Jika seorang pilot tanpa disengaja membelok masuk ke sebuah lembah yang akhirnya buntu dan dia terlambat menyadarinya, itu bisa membuat celaka. Pesawatnya akan menabrak gunung dan hancur berkeping-keping.