Site icon Tanah Airku

Keunikan Suku Bauzi dari Papua, Hobinya Memancing Buaya

MamberamoSungai Mamberamo merupakan sungai terpanjang dan terlebar di Papua. Bagi Suku Bauzi, sungai itu adalah tempat favorit buat memancing buaya. Hii… ngeri!
Sungai Mamberamp dilihat dari jendela pesawat nampak berkelok-kelok, meliuk-liuk seperti ular yang sedang berjalan. Sungai ini menjadi sarana transportasi dan sumber kehidupan bagi suku Bauzi, yang bermukim di tepi sungai ini.
Sungai Mamberamo menjadi habitat alami buaya. Suku Bauzi di Mamberamo Raya pun terkenal sebagai suku pemburu buaya dan ular.
Bagi mereka, daging buaya dan ular adalah makanan terbaik di dunia. Rasanya sangat lezat, lembut dan gurih. Daging buaya dan ular ini biasanya dimasak dengan cara dipanggang di atas perapian, kemudian dimakan bersama sagu, bakaran pisang atau sukun.
Secara tradisional, dalam berburu buaya, pria Bauzi akan merajut dan menjalin tali yang terbuat dari serat pohon melinjo yang terkenal kuat. Tali ini dibuat seperti tali laso.
Sungai Mamberamo Foto: Hari Suroto/Istimewa

Setelah tali siap, mereka lalu berperahu ke bagian sungai yang diperkirakan menjadi sarang buaya. Hal ini biasanya dilakukan pada siang hari, tepat matahari berada di atas kepala.

PriaBauzi kemudian akan berenang di permukaan sungai. Sambil membawa beberapa utas tali, ia akan mencari bayangan seekor buaya di dasar sungai.

Jika terlihat seekor buaya, maka dengan hati-hati, ia menyelam dan mendekati buaya dari belakang. Kemudian ia akan berenang ke arah kepala buaya untuk memastikan apakah matanya terbuka atau tertutup.

Jika mata buaya terbuka maka ia akan mundur secepatnya, berarti itu bahaya. Namun jika mata buaya tertutup, dengan secepat mungkin, ia akan melingkarkan seutas tali di moncong buaya dan tali lainnya di kedua kaki depan buaya.

Kemudian ujung-ujung tali diserahkan ke pemburu lainnya yang sudah menunggu di tepi sungai. Beramai-ramai mereka akan menarik buaya itu ke darat dan membunuhnya.

Suku Bauzi memanfaatkan seluruh bagian buaya hasil buruan. Daging buayanya dimakan, kulitnya dijual dan giginya dipakai sebagai hiasan.

Artikel ini dibuat oleh Hari Suroto dari Balai Arkeologi Papua dan diubah seperlunya oleh redaksi.

(wsw/wsw)

Exit mobile version