Semula, ia bersyukur karena merasa masih ada 11 pemuda sekampung yang tinggal di pondok selama di Bekasi. Tetapi ketika para calon santri asal Suku Asmat tersebut meninggalkannya sendirian, Mukhlis pun tak kuasa membendung air mata.
Berbulan-bulan ia terus meratap, merasa bingung berada di perantauan tanpa orang yang di kenalnya.
“Tapi itu nangis-nangisnya pas saya masih kecil. Sekarang saya sudah besar,” kata Mukhlis sambil tersipu malu.
Kini, Mukhlis sudah merasa damai dalam kehidupan religius di pondok pesantren yang sangat sederhana di sebuah desa di Kota Wali. Sekitar 31 santri asal Papua nyantri di situ. Mereka menimba ilmu agama dengan penuh suka cita.
Mukhlis hanya menyayangkan, ketika mendapat kesempatan keluar dari pondok ia dan rekan-rekan santri Papua selalu menjadi pusat perhatian.
“Rasanya jadi nggak pede. Merasa berbeda. Makanya saya suka menunduk saja,” dia menuturkan.
Sebelum berada di Ponpes La Tansa, ia dan rekan-rekan asal Papua tak jarang menjadi korban pembulian. Beruntunglah, sekarang ia dan santri lain tak lagi mendapat perlakuan negatif semacam itu lagi.
Matanya kembali berkaca-kaca ketika bercerita tentang keluarganya. Ia sudah lama tak berjumpa dengan mereka. Telepon yang diterima hanya dari ayahnya setahun yang lalu.
“Mamak tak sanggup dengar suara saya kalau ditelepon. Saya kangen sama mamak. Ketemunya dulu saat saya masih kecil,” Suaranya makin menghilang ditelan sedu sedan.