Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto di Hari Ulang Tahun (HUT) Polri ke 75 reformasi kepolisian masih harus terus dilakukan khususnya reformasi kultural yang masih menjadi “pekerjaan rumah” yang belum terselesaikan secara tuntas.
“Meskipun reformasi Struktural dan Instrumental sudah banyak mengalami kemajuan, Namun, hingga HUT Bhayangkara ke 75 reformasi kultural masih dihadapkan kepada berbagai tantangan dan membutuhkan waktu yang lebih panjang lagi karena mengubah mindset dan perilaku di lingkungan kepolisian ternyata tidak mudah,” kata Didik di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan, sejak dilakukannya pemisahan TNI dan Polri, reformasi Kepolisian yang meliputi Reformasi Struktural, Instrumental dan Kultural terus dilakukan dengan harapan mampu membawa perubahan besar di institusi tersebut.
Langkah itu menurut dia dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya dalam menjaga keamanan dan ketertiban, memberikan pengayoman kepada masyarakat, melakukan penegakan hukum dan memberikan pelayanan bagi masyarakat.
“Dalam kurun 5 tahun belakangan, saya melihat ada tantangan yang bisa berpotensi membawa kemunduran reformasi Polri jika tidak segera diperbaiki,” ujarnya.
Didik menilai ada empat tantangan yang dihadapi Polri, pertama, Polri rawan “terseret” kepada kepentingan politik elit dan politik praktis.
Menurut dia, netralitas polisi dalam kepentingan politik menjadi tantangan yang harus dijawab dan dibuktikan, karena Polri harus lepas dari kepentingan elit dan politik yang dapat membahayakan kehidupan demokrasi, kebebasan sipil dan berpotensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan.
“Perwujudan ‘Civilan Police’ di Polri perlu komitmen dan konsistensi proses demiliterisasi dan depolitisasi Polri demi tercapai-nya pemolisian demokratis. Untuk itu memastikan profesionalitas dan independensi di tubuh Polri menjadi suatu keharusan,” katanya.
Tantangan kedua menurut dia, tuntutan akuntabilitas Polri, reformasi kepolisian selama ini masih dianggap ada persoalan mendasar dalam hal akuntabilitas di lingkungan kepolisian sebagai bagian aparat penegak hukum.
Dia menilai, ada tiga hal yang butuh perhatian khususnya dalam penanganan kasus pelanggaran hukum, penetapan kebijakan yang berpotensi mengancam kebebasan sipil, dan keterlibatan dalam aksi kekerasan terhadap masyarakat.
“Aparat kepolisian diharapkan tidak menggunakan kekuasaannya untuk melakukan tindakan diskriminatif, dan sebaliknya diharapkan menjadi pengayom masyarakat secara adil,” ujarnya.
Dia menjelaskan, tantangan ketiga, praktik “represi” baik di ruang publik masih menjadi momok di masyarakat, karena dalam beberapa kasus, masyarakat menganggap masih banyak arogansi yang dilakukan Kepolisian terhadap masyarakat sipil.
Bahkan menurut dia, tidak sedikit yang kemudian berpotensi berujung kepada kriminalisasi yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
“Tindakan kekerasan yang berlebihan, arogansi aparat kepolisian ini harus menjadi bagian reformasi yang harus diwujudkan,” tutur-nya.
Tantangan keempat menurut dia, perilaku koruptif dan gaya hidup mewah, secara kelembagaan Polri harus mampu membangun zona intergritas dan memastikan segenap anggotanya terhindar dari perilaku korup dan gaya hidup mewah.
Karena itu dia menilai, Kapolri dihadapkan kepada pekerjaan rumah yang cukup fundamental yang masih harus diselesaikan sehingga perwujudan transformasi Polri yang presisi akan optimal dapat diwujudkan jika beberapa hal fundamental tersebut dapat diselesaikan.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Chandra Hamdani Noor
COPYRIGHT © ANTARA 2021