Bangunpapua.com – Angka prevalensi stunting di Papua dan Papua Barat menurut data SSGI 2022 mengalami peningkatan. Angka prevalensi stunting di Papua meningkat dari 29,5 persen menjadi 34,6 persen.
Sementara di Papua Barat dari 26,2 persen naik menjadi 30 persen. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengingatkan kepala daerah di sana untuk mencermati data itu.
“Beberapa wilayah memang angka stunting cukup tinggi. Ini yang perlu dicermati oleh Bapak Gubernur,” ujar Hasto dalam siaran pers, Jumat (29/9/2023).
Dia menerangkan, Total Fertility Rate (TFR) di Asmat sebesar 4,22 dengan prevalensi stunting 54,5 persen. Selain TFR, kata dia, jarak kelahiran yang ideal dan pemberian ASI eksklusif harus menjadi aksi dan komitmen kuat yang harus dilakukan bagi seluruh pihak.
“Artinya apa? Bahwa jumlah anak dalam keluarga yang ada di Asmat memang tertinggi di Papua, sehingga angka stuntingnya juga tertinggi,” kata Hasto.
Hasto juga mengingatkan, pengukuran berat dan tinggi badan anak harus dilakukan oleh tenaga-tenaga kesehatan yang terlatih, profesional, dan tepat agar mendapatkan hasil yang baik. Ia pun menyayangkan masih tingginya pernikahan usia anak di Papua dan menyorot sedikitnya para calon pengantin yang mendaftar pada aplikasi Elsimil.
“Kalau informasi terkait dengan kawin terlalu muda, ini ada data-datanya namanya ASFR, di mana kalau contoh di Asmat juga setiap seribu perempuan yang pernah melahirkan di usia 15-19 tahun ada 105 orang. Kalau di Tolikara 80 orang,” kata dia.
“Yang paling bagus di Sarmi, di Nabire, Supiori. Di kota ini sudah cukup rendah. Setiap seribu perempuan kalau kita tanya apakah pernah melahirkan pada umur 15-19 tahun, maka di Sarmi hanya 22 orang. Di Nabire hanya 25 orang setiap seribunya,” kata Hasto.
Melihat kondisi tersebut, Hasto mendorong agar pemerintah beserta masyarakat lebih bekerja keras untuk menurunkan perkawinan usia muda, terutama di Tolikara, di Asmat, di Mappi, kemudian juga di daerah-daerah seperti Pegunungan Tengah dan seterusnya yang angkanya masih cukup tinggi.
Baca Juga : Jenis dan Keunikan Pakaian Adat Papua
Hasto juga menyebutkan, peran Tim Pendamping Keluarga (TPK) penting guna percepatan penurunan stunting. Menurut Hasto, dalam kegiatan pencegahan kasus stunting, TPK harus mendata mulai dari calon pengantin: siapa dan di mana catin bermukim.
Untuk TPK sendiri numlahnya 17.394 tim yang masing-masing tim terdiri atas tiga personel, yakni bidan, kader PKK, kader KB.
“Tapi saya memaklumi betul (kondisi geografis) di Papua. Bila aplikasi SIMKAH dari Kementerian Agama merekam (mendata) mereka yang menikah, di BKKBN ada aplikasi ELSIMIL (elektronik siap nikah siap hamil). Ini untuk merekam siapa-siapa yang tidak sehat, yang anemia, dan lainnya. Tapi sampai saat ini yang tercatat di elsimil sedikit sekali,” kata Hasto.
Asisten Deputi Bidang Ketahanan Gizi dan Promosi Kesehatan Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jelsy Marampa, mengatakan, terkait pengukuran harus seragam dengan alat antropometri dan tidak lagi menggunakan dacin.
“Jangan sampai contoh antropometri sedemikian mahal pengadaannya tapi kembali ke perilaku teman-teman yang ada di lapangan seperti kader, masih menggunakan dacin. Pada saat antropometri sudah ada, dacin tidak usah digunakan lagi. Pelaksanaannya perlu kita kawal di lapangannya,” katanya menjelaskan.
Sementara itu, Asisten II Pemprov Papua Susana Wanggai yang mewakili Pj Gubernur Papua menerangkan beberapa strategi Pemerintah Provinsi Papua untuk menekan angka stunting. Di antaranya memperkuat mekanisme kerja TPPS provinsi dan kabupaten kota, agar proses kerja lebih efektif melalui pendampingan terpadu.
“Saya berharap satgas stunting, teknikal asisten yang ada di masing-masing kabupaten kota, harus mempunyai data real terhadap pendampingan tersebut. Dan memastikan bahwa semua TPK telah melakukan pendampingan,” kata dia.
Baca Juga : Jenis-Jenis Musik Tradisional Papua
Dapatkan informasi terupdate berita polpuler harian dari bangunpapua.com. Untuk kerjasama bisa kontak email tau sosial media kami lainnya.