Bangunpapua.com – Papua menjadi pulau dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Publikasi 99 ahli yang meneliti flora dan fauna Papua dan menerbitkannya di majalah Nature pada 2020 menyebutkan, pulau kedua terbesar di Indonesia itu memiliki 13.634 spesies tumbuhan. Jumlah ini 2.000 kali lipat dibanding jenis flora yang ada di Madagaskar, pulau dengan keanekragaman tumbuhan tertinggi kedua di dunia.
Bentang geologi Papua unik. Pulau ini dilintasi 32 lempeng tektonik yang membuat mengakibatkan bentang geologi Papua beragam. Pulau ini memiliki daratan puncak Jaya Wijaya yang menjulang hingga 4.884 meter dari permukaan laut, hutan pegunungan, hutan dataran rendah, padang rumput, hingga hutan bakau di pesisir.
Kekayaan bentang alam tersebut menciptakan pelbagai ekosistem unik di Papua. Tingkat keragaman flora di pulau ini juga dibarengi dengan tingkat endemisitas yang tinggi, yakni sebanyak 68%.
Sebut saja sagu. Walau tumbuh di luar Papua, tapi tumbuhan satu ini telah menjadi makanan pokok masyarakat Papua sejak 50.000 tahun lalu. Bahkan, bagi banyak suku di Papua, sagu bukan hanya makanan pokok, melainkan seperangkat emik, sumber pengetahuan dan sistem religi.
Selain sagu, ada juga buah merah atau Pandanus conoideus, buah endemik papua yang kaya zat antioksidan. Ada juga Areca unipa, jenis pinang yang baru ditemukan pada 2014 dan hanya ditemukan di Papua. Serta juga ada jenis anggrek Bulpophyllum wiratnoi yang baru saja ditemukan pada 2018 di hutan hujan dataran rendah Sorong.
Baca Juga : 5 Poin Kesepakatan PT Freeport Indonesia Sikapi Aspirasi Warga Terdampak Limbah Tailing
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah memetakan pemanfaatan flora secara tradisional dan turun-temurun oleh 276 suku di Papua, melalui kajian etnobotani di beberapa wilayah. Berdasarkan catatan mereka, ada 255 jenis untuk bahan pangan, 115 jenis untuk ritual dan magis, 39 jenis bahan pembuat perahu, 25 jenis untuk obat malaria, dan 57 jenis sebagai bahan obat diare.
Sayangnya, kekayaan flora tersebut hanya jadi nostalgia sesaat. “Saat ini, IUCN mencatat sedikitnya 470 jenis flora terancam punah, satu spesies telah dinyatakan punah, yakni Manilkara napali van Royen,” kata Krisma Lekitoo, peneliti Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Salah satu penyebabnya adalah deforestasi. Meski laju deforestasi terus turun, luas hutan yang hilang tetap banyak. Berdasarkan studi Auriga, sepanjang dua dekade terakhir, tutupan hutan Papua menyusut 663.443 hektare, 71% terjadi pada 2011-2019. Atau bila dirata-ratakan, setiap tahun Papua kehilangan 34.918 hektare hutan. Luas yang setara dengan setengah luas Kota Jakarta.
Saat ini, konservasi sudah mulai dilakukan dengan keberadaan kebun raya dan arboretum. Namun, koleksi spesies masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah jenis yang harus diselamatkan. Terlebih, menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Papua Agustinus Murdjoko, koleksi herbarium flora Papuasia masih terbatas.
Ada beberapa penyebab, kata Murdjoko. Seperti aksesibilitas dan biaya ekspedisi yang terbatas, jumlah dan kualitas peneliti yang masih sedikit, terutama para taksonom. Kedepan, Murdjoko berharap ada jalinan kerja sama antara akademisi, BRIN, dan para pihak lain untuk menyelamatkan kekayaan flora Papuasia.
Baca Juga : Pemerintah Dukung Sosialisasi Kehadiran DOB Papua Kepada Warga
Dapatkan informasi terupdate berita polpuler harian dari bangunpapua.com. Untuk kerjasama bisa kontak email tau sosial media kami lainnya.