Liputan6.com, Jakarta – Konflik berkepanjangan di Papua dinilai gereja sebagai komplikasi berbagai faktor yang tidak bisa diselesaikan dengan kekerasan. Ketua Komisi HAAK Keuskupan Agung Merauke, Romo Anselmus Amo menyebut gereja siap menjadi jembatan di Papua.
Romo Ansel melihat masalah Papua disebabkan komplikasi sejumlah faktor yang rumit. Pertama, sejarah integrasi politik tahun 1960-an yang masih menyisakan masalah.
“Kedua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM yang tidak tuntas. Ketiga, kegagalan pembangunan yang berkeadilan. Keempat, marginalisasi orang Papua, salah satunya akibat inkosistensi kebijakan otonomi khusus,” katanya dalam keterangan, Minggu (9/5/2021).
Romo Ansel menegaskan bahwa pilihan terbaik untuk menyelesaikan konflik Papua ialah jalan perdamaian. “Jalan senjata ditambah label teroris dikuatirkan akan memperburuk situasi seperti semakin banyak warga Papua yang mengungsi karena ketakutan,” ucapnya.
Romo menjelaskan jalan perdamaian itu meliputi tiga langkah. Pertama, menghindari perang karena perang hanya akan menambah luka yang akan semakin sulit disembuhkan. Kedua, membangun masyarakat Papua, bukan sekadar membangun Papua. Ketiga, dialog kemanusiaan yang tulus.
“Dialog terpenting justru dengan KKB. Gereja siap menjadi jembatan perdamaian lewat dialog itu jika mendapat kepercayaan dari pihak Pemerintah dan pimpinan TNI/Polri maupun oleh pihak KKB,” ujar Romo.
Hal senada diungkapkan oleh mantan Uskup Agung Merauke (2004-2020) Mongsinyur Nicolaus Adi Seputra, MSC. Menurutnya konflik berkepanjangan di Papua, termasuk kini oleh KKB, adalah letupan-letupan kekecewaan dan penderitaan Panjang warga Papua sejak thn 1960an.
“Saya cukup lama tinggal di Papua, hidup bersama warga di sana. Saya menyaksikan dan sangat yakin bahwa orang Papua itu cinta damai. Namun, kehidupan damai itu mulai terusik Ketika banyak yang datang dari luar dengan berbagai kepentingan,” ujar Mgr. Nico
Uskup Nico mencontohkan, kekayaan alam Papua yang berlimpah di darat, di perut bumi, hingga di laut yang tak pernah habis adalah hak bersama warga Papua. “Ketika para pendatang (domestik dan global) terus datang bergelombang, lama-lama milik bersama itu terlepas satu per satu. Mereka tak berdaya karena keterbatasan mereka,” ucapnya